Kalau kamu nonton Game of Thrones, pasti kamu pernah teriak ke layar:
“Aku benci banget sama orang ini!”
Serial ini emang jago banget bikin kita benci tapi gak bisa berhenti nonton.
Tapi di balik kejahatan, manipulasi, dan darah yang tumpah, banyak karakter yang ternyata punya sisi kemanusiaan dan alasan kuat di balik semua tindakannya.
Dunia Westeros bukan hitam putih — gak ada pahlawan sejati, gak ada penjahat murni.
Jadi kali ini, kita bakal bahas karakter paling dibenci di Game of Thrones yang ternyata punya sisi baik, dan mungkin bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum nge-judge mereka lagi.
1. Cersei Lannister — Sang Ratu yang Kejam Demi Cinta
Dikenal sebagai: manipulator ulung, pembunuh, dan simbol kekuasaan absolut.
Gak ada karakter yang lebih dibenci daripada Cersei Lannister.
Dia licik, egois, dan kejam tanpa ampun. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang gak bisa dipungkiri: semua yang dia lakukan, dia lakukan demi anak-anaknya.
Cersei bukan haus kekuasaan karena ambisi pribadi semata. Dia tahu dunia patriarki di Westeros gak bakal kasih ruang buat perempuan berkuasa — jadi dia menciptakan ruang itu sendiri.
Dia pakai kecerdikan, pesona, dan kekuatan politik buat melindungi keluarganya, bahkan dengan cara yang brutal.
Sisi baiknya:
- Cersei adalah ibu yang paling protektif di Westeros.
- Dia tahu politik lebih baik daripada sebagian besar pria di sekelilingnya.
- Dia sadar cinta bisa jadi kelemahan, tapi tetap gak bisa berhenti mencintai.
Kesimpulan:
Cersei bukan monster — dia cuma produk dari dunia yang kejam terhadap perempuan kuat.
2. Jaime Lannister — Dari Pembunuh Raja Jadi Pahlawan Tak Terduga
Dikenal sebagai: Kingslayer, arogan, dan incest dengan saudara kembarnya.
Di awal serial, Jaime Lannister mungkin salah satu karakter paling dibenci.
Dia dorong Bran Stark dari menara, sombong, dan kayaknya gak punya moral.
Tapi seiring berjalannya waktu, Jaime berubah jadi salah satu karakter paling kompleks dan manusiawi di seluruh seri.
Ketika kita tahu bahwa alasan dia membunuh Raja Gila (Mad King) adalah untuk menyelamatkan ribuan orang dari dibakar hidup-hidup, pandangan kita langsung berubah total.
Jaime bukan pembunuh egois — dia korban reputasi buruk yang gak pernah berusaha dia luruskan.
Sisi baiknya:
- Dia punya kode moral yang unik: membela kehormatan orang yang dia sayangi.
- Hubungannya dengan Brienne of Tarth nunjukin sisi lembut dan penuh empati.
- Dia belajar memaafkan dan menebus kesalahan.
Kesimpulan:
Jaime adalah contoh bahwa bahkan orang yang tampak jahat bisa menemukan jalan menuju penebusan.
3. The Hound (Sandor Clegane) — Si Brutal yang Ternyata Berhati Lembut
Dikenal sebagai: petarung sadis, penghina agama, dan penjaga keluarga Lannister.
Sandor Clegane alias The Hound adalah definisi “brutal tapi jujur.”
Dia ngatain semua orang, gak punya empati di awal, dan selalu ngelakuin pekerjaannya tanpa rasa bersalah. Tapi perlahan, kita sadar dia bukan kejam — dia traumatik.
Sejak kecil, The Hound disiksa kakaknya (The Mountain), dibakar wajahnya, dan tumbuh dalam ketakutan.
Dia benci kekerasan, tapi gak pernah punya pilihan lain.
Dan ketika dia bertemu Arya Stark, segalanya berubah.
Sisi baiknya:
- Dia ngelindungin Arya dengan cara paling tsundere yang bisa dibayangin.
- Dia jujur — bahkan saat kejujuran itu nyakitin.
- Dia mati bukan sebagai monster, tapi sebagai seseorang yang akhirnya menemukan kedamaian.
Kesimpulan:
The Hound ngajarin bahwa orang kasar gak selalu jahat — kadang mereka cuma belum sembuh dari masa lalu.
4. Theon Greyjoy — Pengkhianat yang Akhirnya Menemukan Diri Sendiri
Dikenal sebagai: pengkhianat keluarga Stark, pengecut, dan simbol kegagalan.
Theon adalah salah satu karakter paling dibenci di musim awal Game of Thrones.
Dia mengkhianati keluarga Stark yang udah ngerawat dia kayak anak sendiri, dan menjarah Winterfell cuma buat bukti diri ke keluarganya.
Tapi semua berubah ketika dia jatuh ke tangan Ramsay Bolton.
Selama disiksa secara fisik dan mental, Theon kehilangan identitasnya, bahkan namanya. Tapi justru dari situ, dia menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.
Dia sadar siapa yang benar-benar mencintainya, dan akhirnya mati dengan terhormat melindungi Bran Stark.
Sisi baiknya:
- Theon sadar dan menebus semua kesalahannya.
- Dia berani hadapi ketakutan terbesar demi menolong orang lain.
- Transformasinya adalah salah satu yang paling emosional di seluruh seri.
Kesimpulan:
Theon buktiin kalau bahkan pengkhianat pun bisa mati sebagai pahlawan.
5. Melisandre — Sang Penyihir Api yang Salah tapi Tulus
Dikenal sebagai: pembunuh anak, fanatik agama, dan pengikut dewa aneh.
Siapa sih yang gak shock waktu Melisandre bakar Shireen Baratheon hidup-hidup?
Tindakan itu brutal dan gak termaafkan. Tapi kalau kita gali lebih dalam, Melisandre bukanlah monster haus darah. Dia percaya dengan tulus bahwa semua yang dia lakukan demi menyelamatkan dunia dari kegelapan.
Di akhir cerita, dia benar-benar menebus semua kesalahannya dengan membantu Jon Snow dan pasukannya menghadapi White Walker.
Dia bahkan gak melarikan diri setelah kekalahannya — dia berjalan keluar dan dengan tenang menerima kematiannya.
Sisi baiknya:
- Dia percaya sepenuhnya pada misi menyelamatkan umat manusia.
- Dia menolong Jon Snow kembali hidup.
- Dia tahu kapan harus pergi, dan pergi dengan damai.
Kesimpulan:
Melisandre mungkin tersesat, tapi hatinya tetap berada di tempat yang benar.
6. Sandor Clegane vs. Gregor Clegane — Dua Saudara, Dua Jalan Neraka
Sebagai tambahan, The Mountain (Gregor) emang sadis tanpa batas, tapi dia cuma jadi simbol dari dunia Westeros yang tanpa belas kasihan.
Sementara The Hound adalah sisi manusiawi yang masih tersisa.
Konfrontasi mereka di akhir seri, Cleganebowl, bukan cuma pertarungan fisik — tapi metafora antara kebencian dan penebusan.
Dan di sana, The Hound akhirnya menemukan kedamaian setelah ngalahin bayangan masa lalunya.
7. Daenerys Targaryen — Sang Pembebas yang Kehilangan Arah
Dikenal sebagai: Mad Queen, pembakar kota, dan simbol kegilaan terakhir Westeros.
Daenerys dulu disayang semua orang — simbol keadilan, pembebas budak, dan calon ratu yang idealis.
Tapi di season terakhir, semuanya berubah. Dia jadi gila kekuasaan, membakar kota, dan membunuh ribuan orang tak berdosa.
Namun, kalau kita perhatiin dari awal, tanda-tanda itu udah ada. Daenerys bukan jahat — dia sendirian, dikhianati, dan kehilangan semua yang dia cintai.
Dia jadi korban dari dunia yang gak pernah ngasih ruang bagi idealisme tanpa kompromi.
Sisi baiknya:
- Dia beneran pengen ngebebasin dunia dari tirani.
- Dia punya empati mendalam terhadap kaum tertindas.
- Dia gak pernah takut ambil keputusan besar, bahkan kalau semua orang menentangnya.
Kesimpulan:
Daenerys bukan gila — dia cuma manusia yang patah karena kehilangan arah dan cinta.
Kenapa Kita Bisa Benci tapi Juga Simpati?
Game of Thrones berhasil karena karakternya realistis banget.
Kita benci mereka karena mereka punya sifat yang kita kenali di diri kita sendiri:
- ambisi,
- ego,
- cinta,
- rasa takut,
- dan keinginan buat diakui.
George R.R. Martin gak bikin pahlawan atau penjahat — dia bikin manusia.
Dan justru di situlah keindahannya: kamu bisa benci Cersei tapi ngerti alasannya, kamu bisa kasihan sama Jaime meskipun dia salah, dan kamu bisa menangis waktu Theon mati.
FAQ
1. Siapa karakter paling “grey area” di Game of Thrones?
Jaime Lannister — dia mulai sebagai penjahat tapi berakhir sebagai salah satu tokoh paling tragis dan manusiawi.
2. Siapa karakter yang paling berubah drastis?
Theon Greyjoy. Dari pengkhianat jadi pelindung sejati.
3. Apakah Daenerys benar-benar jahat?
Enggak. Dia cuma kehilangan kendali dan kepercayaannya pada manusia — bukan karena gila, tapi karena kesepian.
4. Ada karakter jahat yang gak punya sisi baik sama sekali?
Mungkin Ramsay Bolton dan Joffrey Baratheon — dua orang yang benar-benar menikmati penderitaan orang lain.
5. Kenapa fans bisa suka sama karakter jahat?
Karena Game of Thrones bikin kita ngerti “kenapa mereka begitu.” Empati bikin karakter jahat terasa nyata.
Kesimpulan: Di Westeros, Gak Ada Hitam Putih — Hanya Abu-Abu
Serial Game of Thrones ngajarin kita bahwa gak semua karakter jahat itu sepenuhnya jahat.
Setiap kejamnya tindakan, ada alasan emosional di baliknya.
Setiap kebencian, ada luka lama yang belum sembuh.

